Iran Sebut Akan Menggugat FIFA Usai Laga Melawan Mesir. Kontroversi besar mengguncang dunia sepak bola internasional setelah undian Piala Dunia 2026 memasangkan Iran dan Mesir di Grup G. Laga yang dijadwalkan pada 26 Juni mendatang di Lumen Field, Seattle, Amerika Serikat, direncanakan sebagai “Pride Match” oleh panitia lokal—sebuah acara bertema perayaan komunitas LGBTQ+ yang bertepatan dengan akhir pekan Pride di kota itu. Iran, melalui federasi sepak bolanya, langsung bereaksi keras, mengancam akan menggugat FIFA jika rencana itu tak dibatalkan. Presiden Federasi Sepak Bola Iran, Mehdi Taj, menyebut inisiatif ini sebagai “tindakan tidak rasional yang mendukung kelompok tertentu,” dan menyatakan Tehran akan mengajukan banding resmi. Mesir pun ikut protes serupa, menuntut FIFA jamin netralitas acara. Insiden ini bukan hanya soal sepak bola, tapi juga bentrokan nilai budaya, meninggalkan FIFA dalam posisi sulit di tengah persiapan turnamen megah yang digelar bersama Kanada, Amerika Serikat, dan Meksiko. TIPS MASAK
Latar Belakang Kontroversi: Iran Sebut Akan Menggugat FIFA Usai Laga Melawan Mesir
Rencana Pride Match sudah dirancang panitia Seattle jauh sebelum undian pada 5 Desember di Washington DC. Mereka ingin jadikan laga itu momen inklusif, dengan acara publik, instalasi seni, dan dukungan komunitas LGBTQ+ di sekitar stadion. Namun, undian FIFA justru mempertemukan dua negara dengan hukum ketat soal orientasi seksual: di Iran, hubungan sesama jenis bisa dihukum mati, sementara di Mesir, meski tak eksplisit ilegal, komunitas itu sering hadapi diskriminasi dan kekerasan di bawah undang-undang “kemerosotan moral.” Federasi kedua negara langsung kirim surat protes ke FIFA pada Selasa, 9 Desember. Iran, yang tergabung di Grup G bersama Belgia dan Selandia Baru, lihat ini sebagai pelanggaran prinsip netralitas FIFA—terutama Pasal 4 Statuta FIFA yang tekankan acara bebas dari isu politik atau sosial yang picu konflik. Mesir sebut acara itu “bertentangan dengan nilai budaya, agama, dan sosial masyarakat Arab serta Islam,” khawatir provokasi bagi fans mereka.
Respons Federasi dan Pemain: Iran Sebut Akan Menggugat FIFA Usai Laga Melawan Mesir
Mehdi Taj, yang juga anggota Komite Kompetisi FIFA, jadi ujung tombak protes Iran. Dalam wawancara televisi negara, ia bilang akan angkat isu ini di rapat komite, tuntut FIFA batalkan semua elemen Pride dan jadikan laga murni olahraga. Federasi Mesir, lewat surat ke Sekjen FIFA Mattias Grafstrom, tolak “secara mutlak” aktivitas terkait, sebut itu langgar regulasi disiplin FIFA soal manifestasi yang sebabkan ketegangan antarpenonton. Pemain kedua tim belum banyak bicara, tapi kapten Iran, Ehsan Hajsafi, posting di media sosial: “Kami datang untuk main bola, bukan politik.” Di Mesir, pelatih Helmy Toulan ingatkan pengalaman Qatar 2022, di mana FIFA ancam kartu kuning untuk lengan OneLove pro-LGBTQ, bikin tim seperti Inggris dan Wales mundur. Protes ini dapat dukungan dari negara-negara Teluk, yang lihatnya sebagai solidaritas melawan “agenda Barat,” meski panitia Seattle bersikukuh acara tetap jalan sebagai inisiatif lokal, bukan FIFA.
Implikasi Hukum dan Diplomatik
Ancaman gugatan Iran bukan isapan jempol; mereka rencanakan banding formal ke Komite Kompetisi FIFA, potensial eskalasi ke Pengadilan Arbitrase Olahraga jika ditolak. Ini ingatkan kasus sebelumnya, seperti boikot Iran di Piala Dunia 1978 akibat politik, atau kontroversi Qatar 2022 soal hak asasi. Bagi FIFA, posisi rumit: turnamen 2026 janji inklusif, tapi harus jaga hubungan dengan 211 anggota, termasuk mayoritas negara berkembang sensitif soal isu ini. Diplomatiknya lebih luas—hubungan Iran-Mesir sudah tegang sejak 1979, dan insiden ini bisa picu boikot fans atau bahkan pemain, tambah beban keamanan di Seattle yang rencanakan parade besar. Panitia AS bilang acara tak wajib diikuti tim, tapi federasi tuntut jaminan tak ada simbol Pride di stadion. Analis khawatir ini ganggu persiapan Grup G, di mana Iran dan Mesir punya ambisi lolos 16 besar setelah absen panjang dari fase knockout.
Kesimpulan
Kontroversi Pride Match Iran vs Mesir jadi pengingat bahwa sepak bola tak pernah lepas dari dinamika global. Ancaman gugatan FIFA dari Tehran, didukung Kairo, soroti bentrokan antara inklusivitas Barat dan nilai konservatif Timur Tengah—isu yang FIFA harus selesaikan cepat agar turnamen 2026 tetap jadi pesta sepak bola murni. Presiden FIFA Gianni Infantino, yang janji netralitas, kini uji komitmennya: batalkan acara atau hadapi retak solidaritas anggota. Bagi fans, ini pil pahit di awal hype Piala Dunia; tapi di balik protes, tetap harapan laga sengit antar dua tim Asia-Afrika yang haus kejutan. FIFA punya peluang ubah narasi ini jadi pelajaran toleransi, asal tangani bijak. Sampai Juni nanti, bola masih di kaki badan sepak bola dunia—semoga tendangannya tepat sasaran.